Loading

Sabtu, 11 Januari 2014

Makalah Ikterus Pada Neonatus



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kesehatan bayi baru lahir kurang dari 1 bulan (neonatal) menjadi hal yang sangat penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam keadaan sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal dan neonatal menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan Angka Kematian Ibu  (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal).
Angka kematian bayi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesehatan masyarakat secara umum yang sekaligus memperlihatkan keadaan dan sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, karena dapat dipandang sebagai output dari upaya peningkatan kesehatan secara keseluruhan. Penurunan AKB yang berdampak langsung terhadap meningkatnya usia harapan hidup merupakan kredit poin dalam menimbang keberhasilan pembangunan kesehatan.
Berdasarkan penelitian WHO di seluruh dunia, AKI  sebesar 500.000 jiwa pertahun dan kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa pertahun. Kematian maternal dan bayi tersebut terjadi terutama di negara berkembang sebesar 99%.
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/ 2003, AKI di Indonesia masih berada pada angka 307/ 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. AKB, khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20/ 1000 kelahiran hidup.
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah adalah ikterus neonatorum. Gejala ini sangat umum terjadi pada bayi baru lahir antara usia satu sampai tujuh hari. Bahkan ada sekitar 60% pada bayi yang lahir cukup bulan dan 80% pada bayi yang lahir kurang bulan.
Ikterik merupakan salah satu dari beberapa masalah yang sering timbul baik pada bayi baru lahir maupun pada bayi. Peran bidan dan masyarakat atau ibu adalah bagian penting dalam mengatasi masalah bayi, oleh karena bidan dan ibu harus dapat melakukan penanganan dan mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut, khususnya masalah neonatus dan bayi yang ikterus.
Ikterus dapat timbul sebagai beberapa akibat, sehingga perlu langkah yang baik dan sehat pada waktu yang akan datangnya. Pencarian solusi dan penanganan neonatus dan bayi yang ikterik diperlukan oleh bidan dan ibu agar masalah tersebut tidak menimbulkan hal lain yang lebih beresiko.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membuat suatu makalah yang didalamnya membahas mengenai masalah dan penanganan ikterik atau ikterus pada neonatus dan bayi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penatalaksanaan neonatus dengan ikterus dan apa saja terapi yang harus diberikan?



























BAB II
ISI

2.1  Penatalaksanaan pada Ikterus
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini bermacam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada.
1.      Terapi sinar (fototerapi)
            Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu  oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 10 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam, terlentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluaran cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus  tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada bayi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah :
a.      Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 100 jam, untuk menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan
b.     Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar
c.      Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata
d.     Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi
e.      Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal
f.     Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin
g.    Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu
h.     Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah diukur,dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
i.      Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan
j.      Lamanya terapi sinar dicatat
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan kolaboratif dengan tim medis.
Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.

Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :
a.       Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible water loss)
Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau berat lahir sangat rendah.Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.
b.     Frekuensi defekasi meningkat
Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan pembentukan enzim laktase yang dapat meningkatkan peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c.     Timbul kelainan  kulit “flea bite rash” di daerah muka badan dan ekstrimitas
Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada beberapa terjadi “Bronze baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
d.    Peningkatan suhu
Beberapa neonatus yang  mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus dengan jangka waktu (unterval) yang lebih singkat.
e.     Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.
f.      Gangguan pada mata dan pertumbuhan
Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada neonatus yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut.

2.      Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan.Misalnya keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari donor dengan cara mengeluarkan darah neonatus dan masukkan darah donor scara berulang dan bergantian melalui suatu prosedur. Jumlah darah yang diganti sama dnegan yang dikeluarkan. Pergantian darah bisa mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.
Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia.
Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada neonatus dengan kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali pusat kurang dari 10 mg%, peningkatan kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan sebagai darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia.
Transfusi tukar dilakukan,  tetapi sebelumnya label darah harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan permintaan dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus kurang dari 27 jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam sebelum transfusi tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi dibawa ke ruang aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.
Prosedur transfusi tukar : Bayi ditidurkan di atas meja dengan fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan alarm jantung diatur di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis, melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu dikeluarkan, kemudian darah pengganti sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi diambil lagi sebanyak 200 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukan darah pengganti dengan jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai. Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum transfusi tukar.
Saat transfusi tukar, darah donor dihangatkan sesuai suhu temperatur ruang. Pemanasan darah dapat merusak eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan bilirubin. Pemanasan tidak boleh dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan microwave. Darah dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk tujuan tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab membantu dan mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium dan glukosa darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi tukar selesai, dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam atau sesuai anjuran dokter. Selama dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli udara dan trombosis udara dan trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar, trombositopenia, perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis virus B.
Mengingat banyaknya masalah yang dapat timbul, perawat harus memantau kondisi neonatus dengan cermat dan mencatat setiap temuan. Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium diperlukan untuk menilai bahwa proses hemolitik sudah menurun, anemia mulai membaik dan kadar bilirubin dapat dijaga di bawah kadar yang dapat membahayakan neonatus.
Tabel 2.2 Pemilihan Darah Pengganti
Penyebab
Donor Darah
1
Ketidaksesuaian golongan darah rhesus
1
Golongan rhesus negatif
2
Ketidaksesuaian golongan darah ABO
2
Golongan darah O rhesus positif
3
Bukan ketidaksesuaian golongan darah
3
Golongan darah sama dengan bayi



Penyebab
Donor Darah
4
Belum diketahui sebabnya transfusi tukar harus segera dilakukan
4
Darah golongan O yang kompatibel dengans erum ibu (darah harus dicocok silangkan dengan darah bayi dan serum ibu) apabila tidak mungkin dilaksanakan, dimintakan darah golongan O dengan titer anti A atau anti B rendah (<1/256)

3.      Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan.Misalnya phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct.Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.

4.      Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI.Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice).
Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.

5.      Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit.Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah  jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari pembuatan makalah ini adalah : Bentuk terapi untuk ikterus bermacam-macam, diantaranya adalah :
a.       Terapi sinar (fototerapi)
b.      Terapi Transfusi
c.       Terapi Obat-obatan
d.      Menyusui Bayi dengan ASI
e.       Terapi Sinar Matahari

3.2  Saran
Ikterus merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering timbul pada neonatus dan bayi, oleh sebab itu peran bidan, ibu dan instansi terkait dalam menangani dan mencari solusi masalah tersebut perlu dilakukan agar kejadian ikterus yang telah terjadi tidak berlanjut pada masalah yang lebih beresiko.









DAFTAR PUSTAKA

Manuaba.1998.Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana.Jakarta : EGC

Notoatmodjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.Jakarta :Rineka Cipta

Markum, a.h.. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar