BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan
bayi baru lahir kurang dari 1 bulan (neonatal) menjadi hal yang sangat
penting karena akan menentukan apakah generasi kita yang akan datang dalam
keadaan sehat dan berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesehatan maternal dan
neonatal menjadi sangat strategis bagi upaya pembangunan sumber daya manusia
yang berkualitas. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB), khususnya angka kematian bayi baru lahir (neonatal).
Angka
kematian bayi merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kesehatan masyarakat secara umum yang sekaligus memperlihatkan keadaan dan
sistem pelayanan kesehatan di masyarakat, karena dapat dipandang sebagai output
dari upaya peningkatan kesehatan secara keseluruhan. Penurunan AKB yang
berdampak langsung terhadap meningkatnya usia harapan hidup merupakan kredit
poin dalam menimbang keberhasilan pembangunan kesehatan.
Berdasarkan
penelitian WHO di seluruh dunia, AKI
sebesar 500.000 jiwa pertahun dan kematian bayi khususnya neonatus
sebesar 10.000.000 jiwa pertahun. Kematian
maternal dan bayi tersebut terjadi terutama di negara berkembang sebesar 99%.
Berdasarkan
Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/ 2003, AKI di Indonesia
masih berada pada angka 307/ 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2
orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. AKB, khususnya angka
kematian bayi baru lahir (neonatal) masih berada pada kisaran 20/ 1000
kelahiran hidup.
Salah satu
komplikasi yang dapat terjadi pada bayi berat lahir rendah adalah ikterus
neonatorum. Gejala ini sangat umum terjadi
pada bayi baru lahir antara usia satu sampai tujuh hari. Bahkan ada sekitar 60%
pada bayi yang lahir cukup bulan dan 80% pada bayi yang lahir kurang bulan.
Ikterik
merupakan salah satu dari beberapa masalah yang sering timbul baik pada bayi
baru lahir maupun pada bayi. Peran bidan dan masyarakat atau ibu adalah bagian
penting dalam mengatasi masalah bayi, oleh karena bidan dan ibu harus dapat
melakukan penanganan dan mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut,
khususnya masalah neonatus dan bayi yang ikterus.
Ikterus dapat
timbul sebagai beberapa akibat, sehingga perlu langkah yang baik dan sehat pada
waktu yang akan datangnya. Pencarian solusi dan penanganan neonatus dan bayi
yang ikterik diperlukan oleh bidan dan ibu agar masalah tersebut tidak
menimbulkan hal lain yang lebih beresiko.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis merasa tertarik untuk membuat suatu makalah yang didalamnya membahas
mengenai masalah dan penanganan ikterik atau ikterus pada neonatus dan bayi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
penatalaksanaan neonatus dengan ikterus dan apa saja terapi yang harus
diberikan?
BAB II
ISI
2.1 Penatalaksanaan pada Ikterus
Jika setelah
tiga-empat hari kelebihan bilirubin terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan
terapi. Bentuk terapi ini bermacam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan
yang ada.
1.
Terapi sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama
24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang
batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan
dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus
meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal. Sinar yang digunakan
pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang
tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 10 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca
yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan energi sinar
sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup
dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang
berlebihan dari lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga
dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar
kelak tak terjadi resiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam, terlentang
lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa
dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah boleh dibawa
pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada
kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi
karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan
meningkatkan pengeluaran cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan
peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan
mengalaminya, hanya pada kasus tertentu
saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada bayi.
Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah :
a. Lampu yang
dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 100 jam, untuk menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang
digunakan
b. Pakaian bayi
dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar
c. Kedua mata
ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan
retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk
memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap
6 jam dengan membuka penutup mata
d. Daerah kemaluan
ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk melindungi daerah
kemaluan dari cahaya fototerapi
e. Posisi lampu
diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi yang
optimal
f. Posisi bayi
diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin
g. Suhu tubuh
diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu
h. Pemasukan
cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah diukur,dicatat dan
dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
i. Hidrasi bayi
diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan
j. Lamanya terapi
sinar dicatat
Apabila dalam
evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi sinar
dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu
dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif
atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan
lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan kolaboratif dengan tim medis.
Pemberian
terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut
bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan
tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi
secara berkelanjutan.
Kelainan yang
mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :
a. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible water loss)
Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan
peningkatan penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau berat lahir
sangat rendah.Keadaan ini dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.
b. Frekuensi defekasi meningkat
Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan pembentukan
enzim laktase yang dapat meningkatkan peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
c. Timbul
kelainan kulit “flea bite rash”
di daerah muka badan dan ekstrimitas
Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada
beberapa terjadi “Bronze baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh
tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna
kulit ini bersifat sementara dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
d. Peningkatan suhu
Beberapa neonatus yang mendapat
terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan
pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi termostat atau yang belum
matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan mematikan sebagian
lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus dengan jangka
waktu (unterval) yang lebih singkat.
e. Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan
iritabilitas. Keadaan ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.
f.
Gangguan pada mata dan pertumbuhan
Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban.
Pada neonatus yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi
penglihatan lainnya serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan
belum ditemukan, walupun demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang
kemungkinan timbulnya keadaan tersebut.
2.
Terapi Transfusi
Jika setelah
menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat
hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi
darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf
otak (kern ikterus).Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa
mengalami beberapa gangguan perkembangan.Misalnya keterbelakangan mental,
cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar
dengan darah lain.
Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari donor dengan cara
mengeluarkan darah neonatus dan masukkan darah donor scara berulang dan
bergantian melalui suatu prosedur. Jumlah darah yang diganti sama dnegan yang
dikeluarkan. Pergantian darah bisa mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.
Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti
eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis,
dan mengoreksi anemia.
Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar
bilirubin indirek sama dengan atau lebih tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin
mencapai kadar 20 mg%. Pada neonatus dengan kadar bilirubin tali pusat lebih
dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali pusat kurang dari 10 mg%, peningkatan
kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan sebagai darah pengganti
(darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia.
Transfusi tukar dilakukan, tetapi
sebelumnya label darah harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan permintaan
dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus kurang dari 27
jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam sebelum transfusi
tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi dibawa
ke ruang aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.
Prosedur transfusi tukar : Bayi ditidurkan di atas meja dengan fiksasi
longgar, pasang monitor jantung dengan alarm jantung diatur di luar batas
100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis, melalui
kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu dikeluarkan, kemudian darah
pengganti sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20
detik, lalu darah bayi diambil lagi sebanyak 200 cc dan dikeluarkan. Kemudian
dimasukan darah pengganti dengan jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian
tersebut diulangi sampai selesai. Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke
dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi
tukar berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum
transfusi tukar.
Saat transfusi
tukar, darah donor dihangatkan sesuai suhu temperatur ruang. Pemanasan darah
dapat merusak eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan bilirubin.
Pemanasan tidak boleh dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan
microwave. Darah dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk tujuan
tersebut.
Hal yang perlu
diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab
membantu dan mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium
dan glukosa darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi
tukar selesai, dilakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan
bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam atau sesuai anjuran dokter. Selama
dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli udara dan trombosis
udara dan trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia,
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar,
trombositopenia, perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis
virus B.
Mengingat
banyaknya masalah yang dapat timbul, perawat harus memantau kondisi neonatus
dengan cermat dan mencatat setiap temuan. Selain pemeriksaan fisik, data
laboratorium diperlukan untuk menilai bahwa proses hemolitik sudah menurun,
anemia mulai membaik dan kadar bilirubin dapat dijaga di bawah kadar yang dapat
membahayakan neonatus.
Tabel 2.2
Pemilihan Darah Pengganti
Penyebab
|
Donor
Darah
|
||
1
|
Ketidaksesuaian golongan
darah rhesus
|
1
|
Golongan rhesus negatif
|
2
|
Ketidaksesuaian golongan
darah ABO
|
2
|
Golongan darah O rhesus
positif
|
3
|
Bukan ketidaksesuaian
golongan darah
|
3
|
Golongan darah sama dengan bayi
|
Penyebab
|
Donor
Darah
|
||
4
|
Belum diketahui sebabnya
transfusi tukar harus segera dilakukan
|
4
|
Darah golongan O yang
kompatibel dengans erum ibu (darah harus dicocok silangkan dengan darah bayi
dan serum ibu) apabila tidak mungkin dilaksanakan, dimintakan darah golongan
O dengan titer anti A atau anti B rendah (<1/256)
|
3.
Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya
adalah dengan obat-obatan.Misalnya phenobarbital atau luminal untuk
meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang
sifatnya indirect berubah menjadi direct.Ada juga obat-obatan yang mengandung
plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan
mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi
ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan
dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak
tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula
dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi
obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena
biasanya dengan fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.
4.
Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin
juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi
harus mendapatkan cukup ASI.Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik
bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan
tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada
beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice).
Kejadian ini
biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan
berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui
bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
5.
Terapi Sinar Matahari
Terapi
dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan.Biasanya dianjurkan
setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit.Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda.
Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang, misalnya, seperempat jam
kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana
sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi
sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi
yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil dari pembuatan makalah
ini adalah : Bentuk terapi untuk ikterus bermacam-macam, diantaranya adalah :
a.
Terapi sinar
(fototerapi)
b.
Terapi
Transfusi
c.
Terapi
Obat-obatan
d.
Menyusui
Bayi dengan ASI
e.
Terapi Sinar
Matahari
3.2 Saran
Ikterus merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sering timbul pada neonatus dan bayi, oleh sebab itu peran
bidan, ibu dan instansi terkait dalam menangani dan mencari solusi masalah
tersebut perlu dilakukan agar kejadian ikterus yang telah terjadi tidak berlanjut pada masalah yang lebih beresiko.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba.1998.Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana.Jakarta : EGC
Notoatmodjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.Jakarta :Rineka Cipta
Markum,
a.h.. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Rahayu.
2012. Ikterus pada Neonatus dan Bayi. http://duniapintardancemerlang.blogspot.com/2012/01/makalah-ikterik-pada-neonatus-bayi-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar